Jumat, 26 Oktober 2007


Potret Kejawaan Orang Tionghoa

Oleh : Ari Siswanto
Peresensi alumnus PP al-Falah Silo, Jember. Sekarang tinggal di Yogyakarta

Judul : Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa
dan Kebudayaan Jawa Di Surakarta
Penulis : Rustopo
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : xxii+ 419 halaman

Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis penting dalam perkembangan sejarah Indonesia yang eksistensinya dapat ditemukan jauh sebelum republik ini dideklarasikan. Etnis Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Istilah Tionghoa sendiri muncul sebagai representatif konkret dari solidaritas orang-orang Tionghoa perantauan terhadap nasionalisme Tionghoa yang menghasilkan Republic Of China di bawah Sun Yas Sen.
Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Alhasil, faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara begitu signifikan.
Namun, semua realitas masa lalu yang berhubungan dengan Tionghoa sulit diterima oleh semua lapisan masyarakat sebagai satu kesatuan dengan masa lalu Jawa ketika sejarah dikonstruksikan. Parahnya lagi politik diskriminasi ras oleh pemerintah kolonial telah memberikan status sosial orang-orang Tionghoa lebih tinggi daripada orang-orang pribumi, akibatnya terjadilah kesenjangan sosial yang berkepanjangan.
Stigma negatif terhadap etnis Tionghoa yang notabene dikenal hanya dalam aspek ekonomi dan seolah hanya melekat dengan modal saja ternyata dijadikan cambuk untuk mendiskriminasi dan memukul mundur etnis ini. Puncaknya, pada tahun 1998 ketika kondisi Negara sedang carut marut akibat terjadinya inflasi pada sektor perekonomian, orang-orang pribumi dengan bringas melampiaskan kekesalannya pada etnis Tionghoa yang dianggap sebagai elemen pengganggu yang mengeksploitasi secara sepihak sumber ekonomi setempat melalui hubungan “haram” dengan para penguasa politik.
Melihat ketimpangan tersebut, buku berjudul lengkap Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa Dan Kebudayaan Jawa yang ditulis oleh Rustopo seorang akademisi pada jurusan Sejarah di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mencoba menata sekaligus mengkritisi stigma negatif terhadap etnis Tionghoa dengan memberikan beberapa argumen apik dan segar yang isinya menempatkan etnis Tionghoa baik sebagai komunitas maupun individu menjadi satu ke dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa yang tak terpisahkan.
Dalam buku yang mengambil objek kajian di Surakarta ini, para pembaca akan menemukan ulasan-ulasan menarik atas etnis Tionghoa dalam pergaulannya dengan orang-orang Jawa, terlebih pada tataran budayanya. Dalam buku ini penulis dengan begitu bijak memposisikan orang-orang Tionghoa tidak lagi sebagai anak haram yang lahir dari rahim orang-orang Tiongkok yang kemudian harus dimusuhi, melainkan melihat eksistensi Tionghoa sebagai suatu komunitas yang harus dilindungi.
Pada taraf ini, penulis menyebut proses memposisikan etnis Tionghoa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa merupakan transformasi konkret dari realitas sosial yang ada. Dimana orang-orang Tionghoa pada masa lalu secara nyata bertemu, menyatu, dan menjadi Jawa, diantaranya melalui perkawinan. Beberapa diantara keturunan mereka ada yang tampil sebagai tokoh-tokoh utama dalam pengislaman Jawa.
Sebut saja Sunan Ngampel Denta sebagai tokoh yang dituakan dalam walisongo, sesungguhnya adalah Bong Swi Hoo. Ia adalah putra Ma Hong Fu, duta besar Campa untuk Kerajaan Majapahit. Bong Swi Hoo adalah pendakwah yang paling berpengaruh di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah dalam rangka penyebaran Islam. (hlm 54)
Oleh sebab itu, dikatakan oleh Bambang Purwanto dalam pengantar buku ini, bahwa proses menjadi Jawa ini sebenarnya mengindikasikan bahwa bagi komunitas Tionghoa kebudayaan Jawa adalah roh dan nurani yang menghidupkan dan sekaligus identitas diri sebagai Jawa, ketika mereka harus berhadapan dengan sesuatu baik di dalam maupun di luar masyarakatnya.
Dari sinilah kemudian penulis memberikan satu titik tekan, dimana kebudayaan Tionghoa di Surakarta merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia terlebih kebudayaan Tionghoa di Surakarta; walau berakar dari budaya leluhurnya, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Corak asimilasi budaya Tionghoa atas budaya lokal (pribumi) yang ditampilkan oleh penulis dalam buku ini secara tidak langsung menjadi bukti konkret atas kesungguhan etnis Tionghoa untuk menjadi Jawa. Kiprah Go Tik Swan dalam dunia perbatikan merupakan sebuah proses evolusinya menjadi Jawa. Kiprahnya itu berkenaan dengan upayanya membangun citra atau identitas kejawaannya. (hlm 284) Dengan demikian, sangatlah tidak etis ketika kita selalu mendiskreditkan eksistensi orang Tionghoa di Negara ini yang secara histories telah berevolusi menjadi jawa.
Akhirnya, buku ini sangatlah layak untuk dijadikan bahan reflektif bagi siapa saja yang akan mendalami etnis Tionghoa. Kehadiran buku ini setidaknya akan mencairkan stigma negatif yang selama ini menjangkiti orang-orang pribumi karena menganggap etnis Tionghoa sebagai suatu komunitas asing serta nonpribumi.
Semoga apa yang telah diupayakan oleh penulis; terutama memposisikan etnis Tionghoa sebagai bagian dari kita, mendapat apresiasi positif oleh khalayak umum. Apalagi di era yang sering disebut multikulturalisme saat ini tentu sudah seyogyanya kita dituntut untuk lebih bisa memanusiakan manusia seutuhnya tanpa harus melihat latar etnis, ras, kultur, dan agamanya. Semoga buku ini bermanfaat.


Sumber, Suara Pembaruan, Minggu 7 Oktober 2007

Tidak ada komentar: